Saturday, May 29, 2010

PENERAPAN IFRS TERHADAP PERTAMINA

RESSY YULIANA C1C007028
DIAN ASTUTI C1C007036
SAPTI WURI H C1C007037
ERISKA LISANDIA C1C007050

PENDAHULUAN

Indonesia yang tadinya lebih condong ke standar akuntansi keluaran FASB, sejak tahun 1994 sudah mulai melakukan harmonisasi dan lebih mendekatkan diri ke IFRS. Bersamaan dengan perkembangan dan dinamika bisnis dalam skala nasional dan internasional, IAI telah mencanangkan dilaksanakannya program konvergensi IFRS yang akan diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2012.

Dengan adanya standar global tersebut memungkinkan keterbandingan dan pertukaran informasi secara universal. Konvergensi IFRS dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Adopsi standar internasional juga sangat penting dalam rangka stabilitas perekonomian.

Manfaat dari program konvergensi IFRS diharapkan akan mengurangi hambatan-hambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital. Sementara tujuan akhirnya laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) hanya akan memerlukan sedikit rekonsiliasi untuk menghasilkan laporan keuangan berdasarkan IFRS.

Dalam tulisan ini kami akan membahas artikel yang bejudul “TANTANGAN DAN PERMASALAHAN PERTAMINA SEBAGAI OIL & GAS COMPANY DALAM RANGKA PENERAPAN IFRS 2012”


PEMBAHASAN

Dampak langsung dari penerapan IFRS adalah adanya suatu ketentuan-ketentuan baru dalam penyusunan laporan keuangan. Dampak tersebut antara lain:
•Memperkenalkan konsep“Other Comprehensive Income didalam labarugi komprehensif”
•Perubahan definisi-definisi akun-akun dalam laporan keuangan
•Pos Luar Biasa tidak lagi diperbolehkan.
•Perubahan nama“laporankeuangan” menjadi“statement of financial position”, “statement of comprehensive income, and “statement of other comprehensive income”.
Oleh sebab itu dalam Pertamina sendiri ada beberapa isu untuk dikaji lebih dalam lagi sehingga diharapkan akan memperoleh pemecahan masalah.
Dibawah ini beberapa isu akuntansi yang signifikan dengan pertamina, antara lain:
1. Penerapan Akuntansi Aktiva Tetap (PSAK 16) tentang perlunya pengaturan informasi “Fair Value” dan “Residual Value”
Nilai wajar (fair value) adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran aktiva atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm's length transaction).
Nilai residu (residual value) adalah jumlah yag diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini dari pelepasan asset, setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan, jika asset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir umur manfaatnya.
Di dalam PSAK 16 yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset berwujud yang:
(a) Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang dan jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
(b) Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai fair value accounting ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan fair value accounting dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini fair value accounting belum dapat diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.

Sebelum adanya PSAK 16 Revisi 2007, semua perusahaan di Indonesia mencatat akuntansi untuk aset tetapnya dengan menggunakan model biaya historis. Pada dasarnya perlakuan awal untuk aset tetap yang disajikan pada harga wajarnya dengan menggunakan model revaluasian sesuai PSAK 16 revisi 2007 adalah sama dengan perlakuan awal dengan menggunakan model biaya. Perbedaan perlakuan terdapat pada saat pengukuran sesudah tanggal perolehan. Didalam model biaya historis pengukuran setelah perolehan dilakukan dengan menentukan nilai buku aset tetap. Di dalam perlakuan akuntansi dengan model revaluasi menurut PSAK 16 Revisi 2007, secara garis besar perlakuan tersebut sama. Titik utama perbedaannya terletak pada penentuan total nilai perolehan dari aset yang bersangkutan dan akumulasi depresiasi yang dimiiki.

Di dalam akuntansi dengan model revaluasi, nilai perolehan dan akumulasi depresiasi dapat berubah. Perubahan tersebut adalah perubahan yang disebabkan karena adanya penilaian kembali aset tetap. Nilai perolehan aset yang dicatat di dalam neraca perusahaan akan berubah seiring dengan perubahan nilai wajar aset tetap yang diketahui dengan melakukan penilaian kembali. Akumulasi depresiasi sendiri akan mengikuti perubahan akibat penilaian kembali tersebut.
Konsep fair value tidak hanya berlaku untuk menghitung nilai perolehan asset tetap tetapi juga untuk menghitung nilai residu asset tetap. Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.
(The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51).

Perubahan terhadap pengukuran aktiva tetap menggunakan fair value accounting menyebabkan perlunya perubahan terhadap sistem informasi yang digunakan dalam perusahaan. Dalam hal penerapan fair value accounting di Pertamina sebagai konvergensi IFRS, langkah awal yang dilakukan Pertamina adalah melakukan perubahan sistem informasi (business process reengineering) dari SAP (system analysis and program development) menjadi MySAP. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan sistem informasi yang dimiliki Pertamina saat ini yang berbasis PSAK dengan IFRS. Perubahan sistem informasi untuk menyesuaikan bisnis proses yang sesuai dengan IFRS ini memerlukan proses yang cukup panjang. Proses perubahan sistem informasi ini dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan selesai 2011 sehingga dapat digunakan pada awal tahun 2012 sebagai sistem informasi yang yang mendukung bisnis proses yang sesuai dengan IFRS.


KESIMPULAN

Konvergensi IFRS menimbulkan banyak dampak dalam penyusunan laporan keuangan baik dalam nama laporan keuangan sampai pada konsep pengukuran akun-akun yang ada dalam laporan keuangan. Perubahan pengukuran menjadi pengukuran berbasis nilai wajar (fair value accounting) memerlukan pemahaman yang baik dari manajemen tentang konsep fair value accounting sehingga dapat memilih kebijakan akuntansi dan keputusan bisnis yang tepat. Dalam artikel ini perubahan pengukuran berbasis nilai wajar (fair value accounting) yang merupakan dampak dari konvergensi IFRS dilakukan perubahan pula terhadap sistem informasi (business process reengineering) yang berlangsung di Pertamina agar sesuai dan mendukung konvergensi terhadap IFRS.

REFERENSI
www.iaiglobal.or.id

No comments:

Post a Comment