Sunday, June 20, 2010

Perbedaan PSAK 50 dan IFRS 32 Penyajian : Kewajiban dan Ekuitas" (REVISI)

Perbedaan PSAK 50 DAN IFRS 32
Penyajian : Kewajiban dan Ekuitas" (REVISI)

Anisa Eko Riani C1C007082
Asri Wulandari Daryoko C1C007086
Ade Siti Harisnani C1C007087

PENDAHULUAN

Dengan berkembang pesatnya instrumen keuangan, berkembang pula standar akuntansi kompleks dan perusahaan-perusahaan di Indonesia dituntut untuk segera mengimplementasikan, bank diwajibkan untuk mulai mengimplementasikannya dari 1 Januari 2010, sedangkan non-bank diwajibkan untuk mulai mengimplementasikannya dari tahun 2012.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 50 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan “ Penyajian dan Pengungkapan” dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan “Pengakuan dan Pengukuran” dimana PSAK 50 dan PSAK 55 tersebut akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2010. PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi mengacu pada International Accounting Standard (IAS) 39 mengenai Recognition and Measurement of Financial Instruments dan IAS 32 mengenai Presentation and Disclosures of Financial Instruments. PSAK 50 dan 55 diharapkan dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan dan analisis laporan keuangan. Itu juga akan mendorong terciptanya market discipline.

International Financial Reporting Standard (IFRS) adalah Standar, Interpretasi dan Kerangka yang diadopsi oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar IFRS lebih dulu dikenal dengan nama International Accounting Standard (IAS). IAS diterbitkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh International Accounting Standard Comittee (IASC). Pada tanggal 1 April 2001, yang baru mengambil alih IASB dari IASC yang bertanggung jawab untuk menetapkan Standar Akuntansi Internasional. IFRS dianggap sebagai "berdasarkan prinsip" dalam standar tersebut mereka menetapkan aturan-aturan yang luas. Standar Pelaporan Keuangan Internasional terdiri dari:
Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) - standar yang dikeluarkan setelah tahun 2001
Standar Akuntansi Internasional (IAS) - standar yang dikeluarkan sebelum 2001

Interpretasi berasal dari International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) - yang dikeluarkan setelah 2001
Standing Interpretations Committee (SIC) - yang dikeluarkan sebelum 2001


PEMBAHASAN

Dengan diterbitkannya PSAK baru tahun 2007, jurang pemisah terdalam PSAK dengan IFRS (International Financial Reporting Standards) telah teratasi yaitu dengan diperbolehkannya penggunaan nilai wajar (fair value) dalam PSAK. Namun peraturan perpajakan belum mendukung hal ini dengan masih dikenakannya PPh final 10% atas keuntungan dari revaluasi aset. Ditambah lagi dengan kurangnya tenaga penilai di Indonesia yang jumlahnya cuma 2000an orang (anggota MAPI - Masyarakat Penilai Indonesia). Lalu penerapan audit berbasis resiko di Indonesia juga belum mencakup BUMN. PAdahal IFRS (international Accounting Standard Board) berkiblat pada COSO dalamstandar auditnya.
Dalam paper ini akan dibahas mengenai perbedaan antara PSAK 50 (revisi 2006) dengan IFRS 32 tentang penyajian kewajiban dan ekuitas menggunakan pendekatan studi komparatif untuk mengetahui apakah yang telah dilakukan Indonesia dalam usahanya menkonversi IFRS sebagai standar. Dalam istilah akuntansi, kewajiban adalah utang yang harus dilunasi atau pelayanan yang harus dilakukan pada masa datang pada pihak lain. Kewajiban adalah kebalikan dari aktiva yang merupakan sesuatu yang dimiliki. Contoh kewajiban adalah uang yang dipinjam dari pihak lain, giro atau cek yang belum dibayarkan, dan pajak penjualan yang belum dibayarkan ke negara.

Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1.Kewajiban Lancar - kewajiban yang dapat diharapkan untuk dilunasi dalam jangka pendek (biasanya satu tahun). Biasanya terdiri dari hutang pembayaran (hutang dagang, gaji, pajak, dll), pendapatan ditangguhkan, bagian dari hutang jangka panjang yang jatuh tempo tahun ini, obligasi jangka pendek (misalnya dari pembelian peralatan), dll.
2..Kewajiban Jangka Panjang - kewajiban yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun. Biasanya terdiri dari hutang jangka panjang, obligasi pensiun, dll.
Sedangkan ekuitas adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban.
Dari perbandingan yang kami lakukan antara PSAK 50 dengan IFRS 32 tidak terdapat terlalu banyak perbedaan. Pada PSAK 50 paragraf 12 hanya menggambarkan dua kondisi instrumen ekuitas, yaitu :
Ketika penerbit menerapkan definisi dalam paragraf 7 untuk menentukan apakah instrumen keuangan merupakan instrumen ekuitas dan bukan kewajiban keuangan maka instrumen tersebut merupakan instrumen ekuitas jika, dan hanya jika, kedua kondisi (a) dan (b) berikut terpenuhi :
(a)Instrumen tersebut tidak memiliki kewajiban kontraktual :
(i)Untuk menyerahkan kas atau asset keuangan lain kepada entitas lain; atau
(ii)Untuk mempertukarkan asset keuangan atau kewajiban keuangan dengan entitas lain dengan kondisi yang berpotensi tidak menguntungkan penerbit;
(b)Jika instrumen tersebut akan atau mungkin di selesaikan dengan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas, instrumen tersebut merupakan :
(i)Non-derivatif yang tidak memiliki kewajiban kontraktual bagi penerbitnya untuk menyerahkan suatu jumlah yang bervariasi dari instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas; atau
(ii)Derivatif yang akan diselesaikan hanya dengan mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau asset keuangan lain dengan sejumlah tertentu instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas. Untuk tujuan ini, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tersebut tidak termasuk instrumen yang merupakan kontrak untuk menerima atau menyerahkan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tersebut di masa depan.
Kewajiban kontraktual, termasuk kewajiban yang berasal dari instrumen keuangan derivatif, yang akan atau dapat menyebabkan adanya penerimaan atau penyerahan instrumen ekuitas milik penerbit di masa depan, namun tidak memenuhi kondisi (a) dan (b) diatas, bukan merupakan instrumen ekuitas.
Namun pada IFRS 32 paragraf 16 instrumen ekuitas digambarkan dalam 6 poin penjabaran yang lebih rinci. Sedangkan pada paragraf yang lain tidak ditemukan perbedaan. Dalam paper ini kami akan memfokuskan apasajakah hal-hal yang melatarbelakangi adanya perbedaan mengenai 6 (enam) hal yang terdapat di dalam IFRS 32 tetapi tidak terdapat di PSAK 50.
Seperti halnya dunia bisnis pada umumnya, praktik-praktik akuntansi beserta
pengungkapan informasi finansial di perusahaan di berbagai negara dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya :
a. Sifat kepemilikan perusahaan
Kebutuhan akan pengungkapan informasi dan pertanggungjawaban kepada publik lebih besar ditemui pada perusahaan-perusahaan yang dimiliki publik dibandingkan dengan pada perusahaan keluarga.
b. Aktivitas usaha
Sistem akuntansi dipengaruhi oleh jenis aktivitas usaha, misalnya agribisnis yang berbeda dengan manufaktur, atau perusahaan kecil yang berbeda dengan perusahaan multinasional.
c. Sumber pendanaan
Kebutuhan akan pengungkapan informasi dan pertanggungjawaban kepada publik lebih besar ditemui pada perusahaan-perusahaan yang mendapatkan sumber pendanaan dari para pemegang saham eksternal dibandingkan dengan pada perusahaan dengan sumber pendanaan dari perbankan atau dari dana keluarga.
d. Sistem perpajakan
Negara-negara seperti Perancis dan Jerman menggunakan laporan keuangan perusahaan sebagai dasar penentuan utang pajak penghasilan, sedangkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris menggunakan laporan keuangan yang telah disesuaikan dengan aturan perpajakan sebagai dasar penentuan utang pajak dan disampaikan terpisah dengan laporan keuangan untuk pemegang saham.
e. Eksistensi dan pentingnya profesi akuntan
Profesi akuntan yang lebih maju di negara-negara maju juga membuat sistem akuntansi yang dipakai lebih maju dibandingkan dengan di negara-negara yang masih menerapkan sistem akuntansi yang sentralistik dan seragam.
f. Pendidikan dan riset akuntansi
Pendidikan dan riset akuntansi yang baik kurang dijalankan di negara-negara yang sedang berkembang. Pengembangan profesi juga dipengaruhi oleh pendidikan dan riset akuntansi yang bermutu.
g. Sistem politik
Sistem politik yang dijalankan oleh suatu negara sangat berpengaruh pada sistem akuntansi yang dibuat untuk menggambarkan filosofi dan tujuan politik di negara tersebut, seperti halnya pilihan atas perencanaan terpusat (central planning) atau swastanisasi (private enterprises).
h. Iklim sosial
Iklim sosial diartikan sebagai sikap atas penghargaan terhadap hak-hak pekerja dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Informasi yang berkaitan dengan hal-hal tersebut pada umumnya dipengaruhi atas sistem sosial tersebut.
i. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
Perubahan struktur perekonomian dari agraris ke manufaktur akan menampilkan sisi lain dari sistem akuntansi, antara lain dengan mulai diperhitungkannya depresiasi mesin. Industri jasa juga memunculkan pertimbangan atas pencatatan aktiva tak berwujud seperti merek, goodwill dan sumber daya manusia.
j. Tingkat inflasi
Timbulnya hyperinflation di beberapa negara di kawasan Amerika Selatan membuat adanya pemikiran untuk menggunakan pendekatan lain sebagai alternatif dari pendekatan historical cost.
k. Sistem perundang-undangan
Di negara-negara seperti Perancis dan Jerman yang menggunakan civil codes, aturan-aturan akuntansi yang dipakai cenderung rinci dan komprehensif, berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris yang menggunakan common law.
l. Aturan-aturan akuntansi
Standar dan aturan akuntansi yang ditetapkan di negara tertentu tentunya tidak sepenuhnya sama dengan negara lain. Peran profesi akuntan dalam menentukan standar dan aturan akuntansi lebih banyak ditemukan di negara-negara yang telah memasukkan aturan-aturan profesional dalam aturan-aturan perusahaan, seperti di Inggris dan Amerika Serikat.

PENUTUP
Kesimpulan

Upaya untuk memperkuat arsitektur keuangan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan, membuat International Accounting Standard Boards - IASB melakukan percepatan harmonisasi standar Akuntansi internasional khususnya IFRS. IFRS (International Financial Reporting Standards) ini dibuat oleh IASB dan Financial Accounting Standard Boards (Badan Pembuat Standar Akuntansi di Amerika Serikat).
Bagi pengusaha pada umumnya, yang menjadi bahan pertimbangan apakah akan beralih ke IFRS atau tidak adalah “Apakah implementasi IFRS akan menghasilan incremental benefit atau tidak?”. Tetapi bagi perusahaan-perusahaan yang sudah go international, atau yang memiliki partner dari Uni Eropa, Australia dan Russia dan beberapa Middle East countries, tentu sudah tidak punya pilihan lain selain “mau tidak mau harus mulai berusaha menerapkan IFRS” dalam pelaporan keuangannya jika masih mau berpartner dengan mereka. Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari GAAP (atau PSAK atau lainnya) ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi “kompetensi wajib-baru” bagi para pekerja accounting.
Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengadopsi IFRS sebagai standar pelaporan keuangan. Hingga saat ini Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan, salah satunya pada PSAK 50. Menurut kelompok kami, adanya perbedaan mengenai 6 (enam) hal yang terdapat dalam IFRS 32 dan PSAK 50 disebabkan berbagai macam hal. Salah satu yang paling mempengaruhi adalah keadaan ekonomi, sosial, polotik, hukum, dan budaya bangsa Indonesia. Karena IFRS dibuat atas dasar global (luas), sehingga perlu adanya penyesuaian dalam pengimplementasiany. Dengan diterapkannya IFRS di Indonesia telah membuktikan bahwa Indonesia secara bertahap telah mengadaptasi dan mengharmonisasikan IFRS dalam penyusunan standar. Sehingga diharapkan nantinya Indonesia dapat menyajikan laporan keuangan yang berstandar internasional dan ikut berperan serta dalam persaingan bisnis global.
REFERENSI
www.managamentfile.com
www.iaiglobal.com
IFRS 2009
PSAK 2009
www.vibizmanagement.com
http://mulfasli.multiply.com/journal/item/64/PSAK_menuju_IFRS

Thursday, June 17, 2010

Perbedaan PSAK 50 dan IFRS 32 "Penyajian : Kewajiban dan Ekuitas"

Perbedaan PSAK 50 DAN IFRS 32

"Penyajian : Kewajiban dan Ekuitas"

Anisa Eko Riani C1C007082

Ade Siti Harisnani C1C007087

Asri Wulandari Daryoko C1C007086


PENDAHULUAN

Dengan berkembang pesatnya instrumen keuangan, berkembang pula standar akuntansi kompleks dan perusahaan-perusahaan di Indonesia dituntut untuk segera mengimplementasikan, bank diwajibkan untuk mulai mengimplementasikannya dari 1 Januari 2010, sedangkan non-bank diwajibkan untuk mulai mengimplementasikannya dari tahun 2012.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 50 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan “ Penyajian dan Pengungkapan” dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 55 revisi 2006 mengenai Instrumen Keuangan “Pengakuan dan Pengukuran” dimana PSAK 50 dan PSAK 55 tersebut akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2010. PSAK 50 dan 55 merupakan standar akuntansi mengacu pada International Accounting Standard (IAS) 39 mengenai Recognition and Measurement of Financial Instruments dan IAS 32 mengenai Presentation and Disclosures of Financial Instruments. PSAK 50 dan 55 diharapkan dapat mendorong proses harmonisasi penyusunan dan analisis laporan keuangan. Itu juga akan mendorong terciptanya market discipline.

International Financial Reporting Standard (IFRS) adalah Standar, Interpretasi dan Kerangka yang diadopsi oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar IFRS lebih dulu dikenal dengan nama International Accounting Standard (IAS). IAS diterbitkan antara tahun 1973 dan 2001 oleh International Accounting Standard Comittee (IASC). Pada tanggal 1 April 2001, yang baru mengambil alih IASB dari IASC yang bertanggung jawab untuk menetapkan Standar Akuntansi Internasional. IFRS dianggap sebagai "berdasarkan prinsip" dalam standar tersebut mereka menetapkan aturan-aturan yang luas. Standar Pelaporan Keuangan Internasional terdiri dari:

Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) - standar yang dikeluarkan setelah tahun 2001

Standar Akuntansi Internasional (IAS) - standar yang dikeluarkan sebelum 2001

Interpretasi berasal dari International Financial Reporting Interpretations Committee (IFRIC) - yang dikeluarkan setelah 2001

Standing Interpretations Committee (SIC) - yang dikeluarkan sebelum 2001


PEMBAHASAN

Dengan diterbitkannya PSAK baru tahun 2007, jurang pemisah terdalam PSAK dengan IFRS (International Financial Reporting Standards) telah teratasi yaitu dengan diperbolehkannya penggunaan nilai wajar (fair value) dalam PSAK. Namun peraturan perpajakan belum mendukung hal ini dengan masih dikenakannya PPh final 10% atas keuntungan dari revaluasi aset. Ditambah lagi dengan kurangnya tenaga penilai di Indonesia yang jumlahnya cuma 2000an orang (anggota MAPI - Masyarakat Penilai Indonesia). Lalu penerapan audit berbasis resiko di Indonesia juga belum mencakup BUMN. PAdahal IFRS (international Accounting Standard Board) berkiblat pada COSO dalamstandar auditnya.

Untuk itu dalam paper ini akan dibahas mengenai perbedaan antara PSAK 50 (revisi 2006) dengan IFRS 32 tentang penyajian kewajiban dan ekuitas menggunakan pendekatan studi komparatif untuk mengetahui apakah yang telah dilakukan Indonesia dalam usahanya menkonversi IFRS sebagai standar. Dalam istilah akuntansi, kewajiban adalah utang yang harus dilunasi atau pelayanan yang harus dilakukan pada masa datang pada pihak lain. Kewajiban adalah kebalikan dari aktiva yang merupakan sesuatu yang dimiliki. Contoh kewajiban adalah uang yang dipinjam dari pihak lain, giro atau cek yang belum dibayarkan, dan pajak penjualan yang belum dibayarkan ke negara.

Kewajiban dimasukkan dalam laporan neraca dengan saldo normal kredit, dan biasanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1.Kewajiban Lancar - kewajiban yang dapat diharapkan untuk dilunasi dalam jangka pendek (biasanya satu tahun). Biasanya terdiri dari hutang pembayaran (hutang dagang, gaji, pajak, dll), pendapatan ditangguhkan, bagian dari hutang jangka panjang yang jatuh tempo tahun ini, obligasi jangka pendek (misalnya dari pembelian peralatan), dll.

2.Kewajiban Jangka Panjang - kewajiban yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun. Biasanya terdiri dari hutang jangka panjang, obligasi pensiun, dll.

Sedangkan ekuitas adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban.

Dari perbandingan yang kami lakukan antara PSAK 50 dengan IFRS 32 tidak terdapat terlalu banyak perbedaan. Pada PSAK 50 paragraf 12 hanya menggambarkan dua kondisi instrumen ekuitas, yaitu :

Ketika penerbit menerapkan definisi dalam paragraf 7 untuk menentukan apakah instrumen keuangan merupakan instrumen ekuitas dan bukan kewajiban keuangan maka instrumen tersebut merupakan instrumen ekuitas jika, dan hanya jika, kedua kondisi (a) dan (b) berikut terpenuhi :

(a)Instrumen tersebut tidak memiliki kewajiban kontraktual :

(i)Untuk menyerahkan kas atau asset keuangan lain kepada entitas lain; atau

(ii)Untuk mempertukarkan asset keuangan atau kewajiban keuangan dengan entitas lain dengan kondisi yang berpotensi tidak menguntungkan penerbit;

(b)Jika instrumen tersebut akan atau mungkin di selesaikan dengan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas, instrumen tersebut merupakan :

(i)Non-derivatif yang tidak memiliki kewajiban kontraktual bagi penerbitnya untuk menyerahkan suatu jumlah yang bervariasi dari instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas; atau

(ii)Derivatif yang akan diselesaikan hanya dengan mempertukarkan sejumlah tertentu kas atau asset keuangan lain dengan sejumlah tertentu instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas. Untuk tujuan ini, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tersebut tidak termasuk instrumen yang merupakan kontrak untuk menerima atau menyerahkan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas tersebut di masa depan.

Kewajiban kontraktual, termasuk kewajiban yang berasal dari instrumen keuangan derivatif, yang akan atau dapat menyebabkan adanya penerimaan atau penyerahan instrumen ekuitas milik penerbit di masa depan, namun tidak memenuhi kondisi (a) dan (b) diatas, bukan merupakan instrumen ekuitas.

Namun pada IFRS 32 paragraf 16 instrumen ekuitas digambarkan dalam 6 poin penjabaran yang lebih rinci. Sedangkan pada paragraf yang lain tidak ditemukan perbedaan.


PENUTUP

Kesimpulan

Technology informasi yang berkembang pesat telah mengubah lingkungan pelaporan keuangan secara dramatis, mengurangi batasan jarak fisik dan mampu membuat informasi menjadi tersedia di seluruh dunia hanya dengan sekali pencet tombol (enter) dari sebuah computer di tengah perkebunan di desa terpencil. Kemajuan ini membawa jutaan investor (jika tidak milyaran) ke lantai pasar modal di seluruh penjuru dunia. Antusiasnya para investor tidak terhalangi oleh batasan negara, misalnya: Investor dari Amerika bisa dengan mudah ber-investasi di Eropa atau di Singapore atau bahkan di Indonesia, and vice versa.

Ke-efektif-an pasar dunia ini tergantung pada ke—tepat waktu—an dari informasi keuangan yang transparan, dapat dibandingkan dan relevan. Bukan hanya investor dan analyst yang membutuhkan informasi seperti ini, melainkan juga dibutuhkan oleh stakeholder lainnya (pekerja, suppliers, customers, institusi penyedia credit, bahkan pemerintah). Mereka (stakeholders) di jaman globalisasi ini bukan hanya sekedar ingin mengetahui informasi keuangan dari satu perusahaan saja, melainkan dari banyak perusahaan (jika bisa mungkin dari semua perusahaan) dari seluruh belahan dunia, untuk tujuan benchmarking, membandingkan antar industry vertical maupun horizontal. Benchmarking adalah sangat crucial jika mau competitive dalam global business di masa sekarang ini. Jika tidak, maka akan tergilas.

Upaya untuk memperkuat arsitektur keuangan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan, membuat International Accounting Standard Boards - IASB melakukan percepatan harmonisasi standar Akuntansi internasional khususnya IFRS. IFRS (International Financial Reporting Standards) ini dibuat oleh IASB dan Financial Accounting Standard Boards (Badan Pembuat Standar Akuntansi di Amerika Serikat).

Bagi pengusaha pada umumnya, yang menjadi bahan pertimbangan apakah akan beralih ke IFRS atau tidak adalah “Apakah implementasi IFRS akan menghasilan incremental benefit atau tidak?”. Tetapi bagi perusahaan-perusahaan yang sudah go international, atau yang memiliki partner dari Uni Eropa, Australia dan Russia dan beberapa Middle East countries, tentu sudah tidak punya pilihan lain selain “mau tidak mau harus mulai berusaha menerapkan IFRS” dalam pelaporan keuangannya jika masih mau berpartner dengan mereka. Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari GAAP (atau PSAK atau lainnya) ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi “kompetensi wajib-baru” bagi para pekerja accounting.

Indonesia merupakan salah satu negara yang akan mengadopsi IFRS sebagai standar pelaporan keuangan. Hingga saat ini Indonesia telah melakukan perubahan-perubahan, salah satunya pada PSAK 50. Menurut kelompok kami, antara PSAK 50 dengan IFRS 32 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia secara bertahap telah mengadaptasi dan mengharmonisasikan IFRS dalam penyusunan standar. Sehingga diharapkan nantinya Indonesia dapat menyajikan laporan keuangan yang berstandar internasional dan ikut berperan serta dalam persaingan bisnis global.


REFERENSI

www.managamentfile.com

www.iaiglobal.com

IFRS 2009

PSAK 2009

www.vibizmanagement.com

http://mulfasli.multiply.com/journal/item/64/PSAK_menuju_IFRS

Sunday, June 13, 2010

IFRS FOR SME’s STUDI PERBANDINGAN DENGAN GAAP

Oleh :

Tisna Putri Utami C1C007015

Maginta Sari C1C007016

Kristanti Dewi C1C007044

Catur Aan Setiawan C1C007103


BAB I

PENDAHULUAN

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada hari Selasa, 23 Desember 2008 dalam rangka Ulang tahunnya ke-51 mendeklarasikan rencana Indonesia untuk convergence terhadap International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam pengaturan standar akuntansi keuangan. Pengaturan perlakuan akuntansi yang konvergen dengan IFRS akan diterapkan untuk penyusunan laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2012. Hal ini diputuskan setelah melalui pengkajian dan penelaahan yang mendalam dengan mempertimbangkan seluruh risiko dan manfaat konvergensi terhadap IFRS.

International Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena IFRS merupakan standar yang sangat kokoh. Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyediakan waktu cukup dan didukung dengan masukan literatur dari ratusan orang dari berbagai displin ilmu dan dari berbagai macam jurisdiksi di seluruh dunia.

Dengan telah dideklarasikannya program konvergensi terhadap IFRS ini, maka pada tahun 2012 seluruh standar yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh entitas.

Dewan standar akuntansi keuangan pada kesempatan ini juga akan menerbitkan Eksposur draft Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil dan Menengah. Standar UKM ini akan menjadi acuan bagi usaha kecil dan menenggah dalam mencatat dan membukukan semua transaksinya.


BAB II

PEMBAHASAN

IFRS untuk UKM ini dimaksudkan untuk diterapkan untuk tujuan umum laporan keuangan entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik. IFRS untuk UKM adalah standar berisi kurang dari 230 halaman, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan usaha kecil dan menengah (UKM), yang lebih dari 95 persen dari semua perusahaan di seluruh dunia.

Tujuan umum laporan keuangan entitas kecil menengah adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan entitas itu, kinerja dan arus kas yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh berbagai pengguna yang tidak dalam posisi untuk permintaan pelaporan disesuaikan untuk mengenai kebutuhan informasi mereka. Bagian 3 Penyajian Laporan Keuangan mengatur persyaratan umum untuk penyajian laporan keuangan. Bagian 5 Laporan Laba Rugi Komprehensif menentukan persyaratan penyajian kinerja keuangan suatu entitas untuk periode yang bersangkutan. Ini memberikan pilihan kebijakan akuntansi antara menampilkan total pendapatan komprehensif dalam sebuah pernyataan tunggal atau dalam dua laporan terpisah. Ini menentukan item baris yang akan disajikan dalam laporan keuangan tersebut dan melarang presentasi atau deskripsi dari setiap item pendapatan atau beban luar biasa item sebagai extraordinary item. Itu juga mensyaratkan penyajian analisis biaya dengan menggunakan klasifikasi berdasarkan baik sifat biaya atau fungsi beban di dalam entitas, mana yang memberikan informasi

yang dapat diandalkan dan lebih relevan


Kesimpulan

International Financial Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi utama pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia karena IFRS merupakan standar yang sangat kokoh. Penyusunannya didukung oleh para ahli dan dewan konsultatif internasional dari seluruh penjuru dunia. IFRS untuk UKM ini dimaksudkan untuk diterapkan untuk tujuan umum laporan keuangan entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik. IFRS untuk UKM adalah sebuah modifikasi dan penyederhanaan IFRS penuh ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pelaporan keuangan perusahaan swasta pengguna dan meringankan beban pelaporan keuangan perusahaan-perusahaan swasta melalui pendekatan biaya-manfaat. IFRS untuk UKM adalah global mandiri akuntansi dan standar pelaporan keuangan yg berlaku bagi tujuan umum laporan keuangan, dan pelaporan keuangan lainnya oleh entitas yg dibanyak negara dikenal sebagian kecil dan menengah entitas. Tujuan umum laporan keuangan entitas kecil menengah adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan entitas itu, kinerja dan arus kas yang berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh berbagai pengguna yang tidak dalam posisi untuk permintaan pelaporan disesuaikan untuk mengenai kebutuhan informasi mereka.


DAFTAR PUSTAKA


http://google.com

http://scribd.com

http://ececilia.blogspot.com

http://ifrs.com

IFRS untuk UKM di Swiss dan SAK ETAP di Indonesia

KELOMPOK 6 :
1.KHALISAH VISIANA C1C007063
2.APRILIANINGTYAS C1C007074
3.ANISA RIZKYANA C1C007125


PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
IFRS untuk entitas kecil dan menengah (UKM) dimaksudkan untuk mengaplikasikan tujuan umum laporan keuangan entitas yang tidak dimemiliki akuntabilitas public atau yang sering kita sebut dengan Entitas Tanpa Akuntan Publik (ETAP). Di beberapa Negara, yang entitas tidak memiliki akuntabilitas public disarankan untuk memiliki keseragaman pelaporan, termasuk perusahaan perorangan dan entitas yang tidak mempublikasikan akuntabilitasnya.
Standar pelaporan keuangan global diaplikasikan secara konsisten, akan meningkatkan keterbandingan informasi keuangan. Perbedaan pelaporan dapat mengaburkan perbandingan yang digunakan oleh investor, penyandang dana dan pengguna lainnya. Syarat penyajian informasi keuangan yang bermanfaat (relevan, reliable,keterbandingan,dll) standar pelaporan keuangan global yang berkualitas meningkatkan efisiensi dari alokasi dan pengunaan modal. Keuntungannya tidak hanya bagi kreditor atau pemilik modal tapi juga menguntungkan bagi entitas yang membutuhkan modal karena akan mengurangi pengeluaran mereka dan mengalihkan resiko tidak pasti yang berakibat pada biaya modal. Standar global juga meningkatkan konsistensi dalam kualitas audit dan memudahkan pendidikan dan pelatihan.
Kelebihan standar pelaporan keuangan global tidak terbatas pada entitas yang terdaftar di pasar modal. Dalam penilaian IASB, SMEs-dan bagi mereka yang menggunakan laporan keuangan-mendapatkan keuntungan dari pengaturan umum standar akuntansi. Laporan keuangan ETAP berbeda dari satu Negara dengan Negara lain dengan alasan :
1.Intitusi keuangan membuat pinjaman antar Negara beroperasi secara multinasional. Dalam tataran hukum yang luas sebagian besar SMEs termasuk yang paling kecil memiliki pinjaman bank. Pihak bank mengandalakan laporan keuangan untuk membuat keputusan kredit, dan menetapkan jangka waktu serta tingkat bunga.
2.Supplier ingin mengevaluasi kondisi keuangan pembeli di berbagai Negara sebelum mereka menjual barang atau jasa secara kredit.
3.Banyak SMEs yang memiliki pemasok luar negri dan menggunakan menggunakan laporan keuangan pemasok untuk menilai prospek dari kelangsungan hubungan bisnis jangka panjang.
4.Lembaga peyedia modal menyediakan modal untuk SMEs di setiap Negara.
5.Banyak SMEs yang memiliki investor luar negri yang tidak terlibat dengan entitas manajemen setiap harinya.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan arrtikel “Accounting Advisory New, Switzerland” yang diterbitkan 09 September 2009, maka dapat mengambil beberapa poin rumusan masalah, yaitu :
1.Apakah pengukuran dengan metode current market value akan mempengaruhi besarnya pajak ?
2.Apakah penggunaan IFRS lebih praktis dibandingkan dengan SAK ETAP bagi UKM ?



















BAB II
TELAAH PUSTAKA

A.Small and Medium Entyties atau Usaha Kecil Menengah
Small and Medium Entyties menurut IFRS for SMEs adalah :
a.perusahaan kecil dan menengah adalah perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas publik, dan
b.menerbitkan laporan keuangan tujuan umum untuk pengguna eksternal. Contoh
pengguna eksternal termasuk pemilik yang tidak terlibat dalam pengelolaan
bisnis, dan potensi yang ada kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Sebuah entitas memiliki akuntabilitas publik jika:
(a)utang atau instrumen ekuitas yang diperdagangkan di pasar umum atau dalam proses menerbitkan instrumen tersebut untuk diperdagangkan di pasar umum (Bursa efek dalam negeri atau asing atau pasar over-the-counter, termasuk pasar lokal dan regional), atau
(b) memegang aset dalam kapasitas fidusia bagi sekelompok orang luar yang luas sebagai salah satu bisnis utama. Hal ini biasanya terjadi bagi bank, serikat kredit perusahaan asuransi, broker sekuritas / dealer, reksa dana dan
bank investasi
Beberapa perusahaan juga dapat memegang aset dalam fiduciary untuk grup luas orang luar karena mereka memegang dan mengelola sumber daya keuangan yang dipercayakan kepada mereka oleh klien, pelanggan atau anggota tidak terlibat dalam manajemen entitas. Namun, jika mereka melakukannya untuk alasan yang terkait dengan bisnis utama (seperti, Misalnya, mungkin kasus untuk perjalanan atau agen real estat, sekolah, amal organisasi, perusahaan koperasi yang membutuhkan deposit keanggotaan nominal, dan penjual yang menerima pembayaran sebelum pengiriman barang atau jasa seperti perusahaan utilitas), yang tidak membuat mereka publik akuntabel.
Jika sebuah entitas publik akuntabel menggunakan IFRS ini, laporan keuangan tidak akan digambarkan sebagai sesuai dengan IFRS untuk UKM-bahkan jika hukum atau peraturan yang yurisdiksi izin atau membutuhkan ini IFRS untuk digunakan oleh publik akuntabel entitas.
Sebuah perusahaan anak yang perusahaan induknya menggunakan IFRSs penuh, atau yang merupakan bagian dari kelompok konsolidasi yang menggunakan IFRSs penuh, tidak dilarang menggunakan IFRS dalam perusahaan memiliki keuangan laporan jika anak dengan sendirinya tidak memiliki akuntabilitas publik. Jika perusahaan
laporan keuangan yang digambarkan sebagai menyesuaikan dengan IFRS untuk UKM, harus


B.IFRS for SMEs
1.Pengukuran.
IFRS for SMEs memiliki dua metode pengukuran atau measurement yang tercantum pada IFRS No.2 paragarf 34, sebagai berikut ;
“2. 34 Two common measurement bases are historical cost and fair value:
(a) For assets, historical cost is the amount of cash or cash equivalents paid or the fair value of the consideration given to acquire the asset at the time of its acquisition. For liabilities, historical cost is the amount of proceeds of cash or cash equivalents received or the fair value of non-cash assets received in exchange for the obligation at the time the obligation is incurred, or in some circumstances (for example, income tax) the amounts of cash or cash equivalents expected to be paid to settle the liability in the normal course of business. Amortised historical cost is the historical cost of an asset or liability plus or minus that portion of its historical cost previously recognised as expense or income.
(b) Fair value is the amount for which an asset could be exchanged, or a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.”

2.Pajak Penghasilan dan pengungkapannya
IFRS for SMEs No.29 menyatakan bahwa lingkup untuk pajak penghasilan adalah;
“29.1 pajak penghasilan mencakup semua pajak dalam negeri dan luar negeri yang berdasarkan laba kena pajak. pajak penghasilan juga termasuk pajak, seperti pemotongan pajak, yang harus dibayar oleh anak perusahaan, asosiasi atau joint venture pada distribusi bagi entitas pelaporan”

Pengungkapan atas pajak harus dilakukan oleh entitas sehingga memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi sifat dan dampak keuangan dari pajak kini dan tangguhan konsekuensi transaksi diakui dan acara lainnya. Ketentuan pengungkapan dalam IFRS for SMEs No. 29 paragraf 31, adalah sebagai berikut;

“29,31 entitas harus mengungkapkan secara terpisah komponen utama dari beban pajak (penghasilan). Komponen tersebut dari beban pajak (penghasilan) mungkin termasuk:
(A) beban pajak kini (penghasilan).
(B) penyesuaian yang diakui pada periode pajak kini periode sebelumnya.
(C) jumlah beban pajak tangguhan (penghasilan) yang berkaitan dengan originasi dan pembalikan dari beda.
(D) Beban pajak tangguhan (penghasilan) sehubungan dengan perubahan pajak
tarif atau pengenaan pajak baru.
(E) pengaruhnya terhadap beban pajak tangguhan yang timbul dari perubahan dalam pengaruh hasil yang mungkin dari tinjauan oleh otoritas pajak (lihat ayat 29,24).
(F) penyesuaian untuk beban pajak tangguhan yang timbul dari perubahan status pajak perusahaan tersebut atau para pemegang saham.
(G) perubahan dalam penyisihan penilaian (lihat ayat 29,21 dan 29,22).
(H) jumlah beban pajak sehubungan dengan perubahan kebijakan akuntansi dan
kesalahan (lihat Pasal 10 Kebijakan Akuntansi, Perkiraan dan Kesalahan).”


Tunjukkan huruf
C.SAK ETAP
No.
Elemen
SAK UMUM
SAK ETAP
1.
Penyajian Laporan Keuangan
Dengan adanya ED PSAK 1 di masa depan penyajian laporan keuangan mengikuti IFRS dengan perubahan antara lain,
- Tidak ada lagi pos luar biasa pada neraca
-  Laba Rugi comprehensive
- Cash flow metode langsung (dianjurkan), dan tidak langsung.
Minimum pos yang harus ada di neraca lebih sedikit.
- Silent terhadap pos luar biasa
-  Laporan laba rugi (tanpa harus menyajikan laba rugi komprehensive)
- Cash flow dengan metode tidak langsung
2.
Aset Tetap dan Properti Investasi
1. Memberikan pilihan metode biaya atau revaluasi untuk aset tetap.
2. Metode Fair value untuk properti investasi.
Aset tetap, properti investasi menggunakan metode biaya kecuali ada ketentuan pemerintah yang mengharuskan model revaluasi diterapkan.
3.
Aset Tidak Berwujud
-    Saat ini aset tidak berwujud diamortisasi selama 20th.
-    ED PSAK 19 (Terbit 2011)
-    Aset tidak berwujud dengan masa manfaat tak terbatas, tidak diamortisasi.
-     Aset tidak berwujud diamortisasi selama 10th.
-     Pengukuran menggunakan metode biaya.
4.
Instrumen Keuangan
-  Ruang lingkup: aset dan kewajiban keuangan,
-  Diklasifikasikan pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, dimiliki hingga jatuh tempo, tersedia untuk dijual, pinjaman dan pinjaman yang diberikan.
-  Impayment menggunakan incurred loss concept.
-  Derecognition
-  Hedging dan derivatif.
-     Ruang lingkup; investasi pada efek tertentu
-     Klasifikasi trading, held to maturity, dan available for sale. Hal tsb mengacu pada PSAK no 50 (1998).
-     Jauh lebih sederhana dibanding ketentuan PSAK 50 dan PSAK 55 (revisi 2006)
5.
Pajak Penghasilan
Menggunakan deffered tax concept
Pengukuran dan pengakuan pajak kini
Pengakuan dan pengukuran pajak tangguhan

Menggunkan tax payable konsep
Tidak ada pengakuan&pengukuran untuk pajak tangguhan
6
Imbalan kerja
Komponen biaya
Kapitalisasi dan pengakuan biaya
Biaya pinjaman langsung dibebankan

BAB III
PEMBAHASAN
A.ARTIKEL
1.Artikel IFRS for SMEs

ACCOUNTING ADVISORY SERVICES Accounting Advisory News Switzerland ADVISORY Issue 2 – September 2009 In July 2009
One of the longest and most controversial projects of the IASB culminated with the release of the standard IFRS for Small and Medium-sized Entities (IFRS for SMEs). More than 8 years have passed since the issue was added to the IASB’s project agenda. During this time fundamental changes were considered in relation to the basic concept of the standard and individual accounting rules. The first draft of the standard was based on cost-benefit considerations for SMEs and provided a slimmed-down version of full IFRSs with simplification to recognition, measurement and disclosure requirements of full IFRSs. The final standard issued by the IASB, however, presents itself as a self-contained standard for SMEs that contains, to some extent, extensive recognition and measurement simplifications.
In Switzerland, the accounting standard IFRS for SMEs competes with the generally accepted accounting principles of Swiss GAAP FER, which are also based on the true and fair view principle.
According to the current draft of the new Swiss accounting law, consoli-dated financial statements will need to be prepared under generally accepted accounting principles. A directive of the Swiss Federal Council will set out which standards are likely to be accepted as generally accepted accounting principles which is likely to include Swiss GAAP FER, IFRS, US GAAP and, potentially, IFRS for SMEs.
Hence, a group of entities that has neither equity nor debt instruments listed on a public market and is neither a bank nor an insurance company, theoretically has the choice between four different accounting principles. However, full IFRSs and US GAAP are not likely to constitute a sensible alternative for SMEs given their complexity. In this newsletter, we explain to you the significant simplifications of the SME standard and highlight the major differences to Swiss GAAP FER.
IFRS for SMEs- a Standard for Switzerland ?
Structure and content
The final IFRS for SMEs is a stand-alone document, without connections to full IFRSs (except for the reference to IAS 39), which has been developed on the basis of the full IFRSs and its framework. The cross-references to full IFRSs (e.g. for details on applying more complex accounting options or as a source of guidance when the IFRS for SMEs does not address an accounting issue directly) that had been proposed in the exposure draft to this standard were eliminated in the final standard.
Example: The IFRS for SMEs does not include any guidance regarding the derecog-nition of goodwill that has been allocated to a cash-generating unit when an entity disposes of an operation within that unit. Hence, entities that apply the SME standard have the choice of applying IAS 36 (in particular paragraph 86) by analogy or to develop an independent accounting policy.
The IASB plans to update the IFRS for SMEs approximately every three years, however urgent matters may need to be considered earlier than in the normal three-year cycle. With this provision, the SME standard remains fairly flexible but is still not considered for amendment as often as full IFRSs. New IFRSs, issued by the IASB since the SME standard was last revised do not automatically apply to the IFRS for SMEs.
The IFRS for SMEs is organised by topics, with each topic presented in a separate section. Section 1-10 are general in nature and include the scope of the standard (section 1), the relevant excerpts from the framework and the basic recognition and measurement principles (section 2), which now form part of the mandatory accounting standard – unlike full IFRSs.
Sections 11-29 contain topics related to individual balance sheet items and transactions, that have been more or less derived from the corresponding IFRSs. A derivation table in the back of the standard identifies the IASs/IFRSs from which the principles in each section of the IFRS for SMEs were derived.
Sections 30-34 include special topics that are not related to single balance sheet items or transactions, such as Foreign Currency Translation, Hyper-inflation and Special Activities (i.e. Agriculture and Exploration of Mineral Resources).
Section 35 sets out the requirements for first-time adoption of the SME standard. The requirements apply regardless of whether the transition is from full IFRSs or from another set of accounting principles such as the Swiss Code of Obligations or Swiss GAAP FER.
The standard is supplemented by the Basis for Conclusions, Illustrative Financial Statements and a Disclosure Checklist that are not mandatory.
Accounting options
While the exposure draft granted all accounting options available under full IFRSs to SMEs, the final standard only includes the simpler option for SMEs. The cross-references to full IFRSs that allowed SMEs to apply the more complex options included in full IFRSs, were eliminated in the final standard in order to allow a stand-alone IFRS for SMEs standard. Hence, in contrast to the original intention of the IASB, the final standard includes considerably less accounting options than full IFRSs.
Example: The exposure draft of the SME standard allowed the subsequent measurement of property, plant and equipment either at cost less any accumulated depreciation and impair-ment losses or at fair value. While the first (simpler) option was explicitly set out in the exposure draft, SMEs would have had the option to apply the more complex option via a cross-reference to full IFRSs (IAS 16.31 ff.).
Further significant accounting options in full IFRSs that are not available for SMEs, include the following:
 Recognition of actuarial gains and losses from defined benefit plans in line with the corridor method (IAS 19.92) or by adopting any systematic method that results in faster recognition (IAS 19.93),
 Proportionate consolidation for investments in jointly‐controlled entities (IAS 31.30 ff.),
 Subsequent measurement of intangible assets at fair value (IAS 38.75 ff.),
 Deducting government grants from the carrying amount of the corresponding asset (IAS 20.24),
 Subsequent measurement of investment properties at cost less any accumulated depreciation and impairment losses (IAS 40.30).

In contrast, SMEs still have the option to prepare the cash flow statement by using either the direct or indirect method.
Further, the SME standard provides the following additional accounting options:
 Financial instruments can be accounted for by either applying the requirements of sections 11 and 12 of the IFRS for SMEs or by applying the recognition and measurement requirements of IAS 39,
 Investments in associates and jointly controlled entities can be accounted for in the consolidated financial statements at cost, at fair value through profit or loss or by applying the equity method.

Significant simplifications
The final IFRS for SMEs contains several recognition and measurement simplifications compared to full IFRSs and to the exposure draft.
Financial instruments
The most far going separation from full IFRSs becomes obvious in the financial instruments section. In this section, an independent approach has been developed, which was also used as a starting point for the discussions around the revision of accounting for financial instruments in full IFRSs.
In contrast to full IFRSs, there are only two instead of four categories of financial instruments: (1) basic financial instruments and (2) other financial instruments.
Basic financial instruments comprise, for example, debt instruments at fixed or variable rates with common terms, bank deposits, trade receivables and payables, bills and others. These financial instruments shall be measured at amortised cost using the effective interest method less any impairment losses.
Basic financial instruments also com-prise investments in non-convertible preference shares and non-puttable ordinary and preference shares. These financial instruments shall be measured at fair value with changes in fair value recognised in profit or loss, if the shares are publicly traded or their fair value can otherwise be measured reliably. All other such investments shall be measured at cost less impairment.
Other financial instruments, including all derivatives, that are not part of a hedge relationship, shall be measured at fair value with changes in fair value to be recognised in profit or loss.
Comparison to Swiss GAAP FER: Under Swiss GAAP FER, only securities as part of the current assets for which a fair value exists and derivatives that are not part of a hedge relationship, shall be measured at fair values. Hence, more financial instruments tend to be measured at fair values under IFRS for SMEs than under Swiss GAAP FER. The future will show whether this will lead to significant divergence in practice as most SMEs are likely to have only basic financial instruments.
The complex requirements for embedded derivatives set out in IAS 39 have not been transferred to the IFRS for SMEs. As per IFRS for SMEs financial instruments with embedded derivates (such as convertible bonds) are classified as other financial instruments and hence measured in their entirety at fair value.
Contracts to buy or sell non-financial items that include risks that are not in accordance with the entity’s expected purchase, sale or usage requirements are also classified as other financial instruments and measured in their entirety at fair value. Hence, the separation of the embedded derivative is not necessary.
Comparison to Swiss GAAP FER: Swiss GAAP FER does not set out detailed requirements for embedded derivatives, which probably shows that the issue is not as relevant for the users of Swiss GAAP FER.
In general, Swiss GAAP FER requires the recognition of a derivative as soon as it constitutes an asset or a liability. Embedded derivatives are treated together with the basic instrument, with separation as an allowed alternative. Components of non-financial contracts that are in accordance with the entity’s expected purchase, sale or usage requirements are not likely to fulfil the definition of an asset or a liability and hence would not be separable. Thus, there are no significant differences between the SME standard and Swiss GAAP FER.
In addition, the requirements for hedge accounting have been simplified but are still relatively complex. The SME standard still requires relevant docu-mentation and prospective effective-ness testing of the hedge relationship. Only retrospective effectiveness testing of the hedge relationship is not required as the termination of the hedge relationship is accounted for prospectively – unlike IAS 39.

…………………….

Topics without major simplifications
The following accounting topics, which are considered to be complex in practice, are consistent with full IFRSs without major simplifications for SMEs:

 Leases,
 Revenue recognition,
 Share-based payments,
 Income taxes and
 Business combinations.

While the guidance on income taxes in the IFRS for SMEs anticipates future changes to full IFRSs, such as the definition of the tax base and the accounting for uncertain tax positions, the requirements for business combinations are not based on the current IFRS 3 (2008) but on the previous version issued in 2004.
Comparison to Swiss GAAP FER: Accounting for leases as lessees is comparable with IFRS. However, accounting for leases as lessors is not specified in Swiss GAAP FER.
There is only one general require-ment in the framework regarding revenue recognition, however, the results are likely to be comparable to the SME standard. As accounting for share-based payments is not set out under Swiss GAAP FER, recognition as an expense is not inevitable. The concept of accounting for deferred taxes is comparable to the IFRS for SMEs, but there are significant differences in relation to the detailed requirements. Under Swiss GAAP FER, the temporary differences concept is not followed as strictly as under the SME stan-dard. For example, deferred taxes are not recognised for temporary differences of income and expenses that do not affect the results (such as translation differences that have been recognised in equity). Accounting for business combinations is generally comparable with the SME standard but the requirements are significantly less detailed.
Disclosures
The final SME standard still requires detailed disclosures in some areas, although the overall quantity of disclosures has been significantly reduced compared to full IFRSs.
For example, the disclosure of a tax rate reconciliation is not required for SMEs. However, disclosures are required in relation to the significant differences in tax amounts presented in the statement of comprehensive income and amounts reported to tax authorities.
Comparison to Swiss GAAP FER: Overall, the disclosure requirements under Swiss GAAP FER are signifi-cantly less than under the IFRS for SMEs. The disclosure requirements in relation to defined benefit obliga-tions under Swiss GAAP FER are similar to IFRS for SMEs. The disclo-sures required for transactions with related parties are also comparable. However, Swiss GAAP FER does not require the disclosure of key manage-ment personnel compensation.
First-time adoption
IFRS for SMEs should be applied retro-spectively when adopted for the first time, i.e. recognition and measurement of all assets and liabilities as if the standard would have been applied in the past. However, the standard grants several exemptions from the retro-spective application requirement – some of them are mandatory and others are optional.
An entities’ first financial statements prepared under the IFRS for SMEs would require the disclosure of comparative information in respect of the previous comparable period for all statements.
Further, the first financial statements under the IFRS for SMEs require the disclosure of a reconciliation of the entity’s equity and profit or loss determined in accordance with its previous financial reporting framework to its equity determined in accordance with the SME standard.
Comparison to Swiss GAAP FER: Swiss GAAP FER requires only the disclosure of an opening balance sheet upon first time adoption for the current reporting period (closing balance at the end of the previous financial year).The retrospective application of the standard is not explicitly set out in Swiss GAAP FER. Hence, there are no exemptions from the retrospective application comparable to the ones included in the SME standard.
Adoption in Switzerland
The comparison between IFRS for SMEs and Swiss GAAP FER shows that, despite the sometimes significant simplifications to full IFRSs, the requirements of the SME standard are more detailed than Swiss GAAP FER. Further, due to the significant larger quantity of disclosures under IFRS for SMEs, the compilation of financial statements under the SME standard is likely to take more time and effort. However, the accuracy of this state-ment will depend on the individual circumstances.
However, Swiss GAAP FER often does not set out any, or only general, requirements for certain important accounting areas. In addition, the frequency of changes to the standards is likely to be higher under IFRS for SMEs than under Swiss GAAP FER due to the planned regular revisions of the SME standard. This might require costly changes to the current accounting processes and systems.
On the other hand, Swiss GAAP FER users are in practice often required to develop and consistently apply their individual accounting policies in accounting areas with no or only general requirements, if applicable to the company. This might involve substantial costs and coordination effort especially for multinational groups of companies with a certain size.
In addition, the comparability of Swiss GAAP FER financial statements might be limited from the point of view of users of financial statements, due to the necessity to develop individual accounting policies in accounting areas with no or only general requirements. Financial statements under IFRS for SMEs might potentially be more comparable than under Swiss GAAP FER resulting from the more detailed requirements of the SME standard. This is also the case in relation to financial statements under full IFRSs given the fewer accounting options included in the IFRS for SMEs.
A disadvantage of the IFRS for SMEs is that the scope of application is considerably more restricted. Swiss GAAP FER can be applied by all entities that are not listed on the Main Standard of the SIX (and hence are required to apply full IFRSs or US GAAP anyway). However, entities that are listed in the Domestic Standard of the SIX or whose debt instruments are traded in a public market, are not allowed to apply the SME standard. Even a change of the SIX’s listing rules would not change the applicability of the SME standard to entities whose debt and equity instruments are traded in public market, as it was the IASB’s intention that financial statements of these entities shall not be described as conforming to the IFRS for SMEs.
The individual circumstances of Swiss entities and the international acceptance of the SME standard will determine whether Swiss entities will be prepared to accept the higher costs and time effort to prepare financial statements under the IFRS for SMEs. In this regard, one of the key consider-ations is likely to be the endorsement of the SME standard by the EU, which is still pending.

http://kpmg.ch


2.Artikel Surat Edaran Bank Indonesia
FREQUENTLY ASKED QUESTIONS (FAQs)
SE NO.11/37/DKBU/2009 TANGGAL 31 DESEMBER 2009 TENTANG PENETAPAN
PENGGUNAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT
1. Apa latar belakang penerbitan Surat Edaran (SE) ini?
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku bagi BPR selama ini adalah PSAK 31 tentang Akuntansi Perbankan (PSAK 31) yang berlaku bagi seluruh perbankan. Dengan diberlakukannya PSAK 50 Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan (PSAK 50) dan PSAK 55 Instrumen Keuangan: Pengakuan dan Pengukuran (PSAK 55), yang menggantikan PSAK 31, maka standar akuntansi bagi perbankan mengacu pada PSAK yang berlaku. Namun demikian, penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 bagi BPR dipandang tidak sesuai bagi BPR dan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Sehubungan dengan itu maka BPR memerlukan standar akuntansi keuangan yang sesuai. SE ini diterbitkan sebagai penetapan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) sebagai standar akuntansi keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha berbasis konvensional.
2. Apa pokok-pokok pengaturan dalam SE ini?
Pokok pengaturan dalam SE ini adalah pemberlakuan SAK ETAP sebagai standar akuntansi
keuangan bagi BPR.
3. Mengapa BPR sebagai bank menggunakan SAK ETAP?
Mempertimbangkan bahwa penerapan PSAK 50 dan PSAK 55 bagi BPR dipandang tidak sesuai dengan karakteristik operasional BPR dan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka BPR memerlukan standar akuntansi keuangan yang sesuai. Standar akuntansi keuangan yang ditetapkan adalah SAK ETAP. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan DSAK-IAI dalam SAK ETAP bahwa SAK ETAP dapat diberlakukan bagi entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan, sepanjang otoritas berwenang mengatur penggunaan SAK ETAP dimaksud. Entitas yang memiliki akuntabilitas publik signifikan adalah entitas yang menguasai asset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, contohnya bank.
4. Kapan SE ini berlaku?
SE ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010.


B.ISI
1.Perbedaan SAK Umum & SAK ETAP
Indonesia memberlakukan SAK ETAP bagi UKM dan entitas tanpa akuntan publik sebagai pengganti PSAK 50 dan PSAK 55(bagi BPR) sejak 1 Januari 2010. Ada beberapa perbedaan antara SAK umum dengan SAK ETAP ini. Perbedaan ini menybabkan kendala dalam penerapan SAK ETAP . Jika pada SAK ETAP pajak tangguhan tidak diakui maka, pada SAK Umum pajak tangguhan diakui.Meskipun begitu, telah ada beberapa entitas khususnya BPR yang telah menerapkan SAK ETAP ini, salah satunya adalah Bank Perkreditan Artha Graha.
Penerapan SAK ETAP akan membantu UKM utuk menyajikan Laporan Keuangan lebih baik dan dengan biaya yang lebih sedikit.



2.Perbedaan pengukuran dan pengungkapan IFRS for SMEs dengan ETAP
Switzerland atau Swiss terkenal sebagai salah satu Negara “Surga Pajak” karena pajak yang ditetapkan hamper mendekati 0%(nol persen) bagi investor asing tapi, itu dulu sebelum akhirnya Negara- Negara lain melakukan protes atas peraturan pajak pemerintah Swiss yang dikhawatirkan akan membuat Swiss menjadi Negara “pencuci uang”.
Swiss menerapkan IFRS secara perlahan dan melakukan harmonisasi dengan GAAP FER. Ketika IFRS for SMEs muncul, terdapat beberapa kendala diantaranya mengenai perpajakan. Swiss dan beberapa Negara lain mengalami kendala ketika akan menerapakan IFRS for SMEs, metode pengukuran IFRS yang tersedia adalah Historical Cost dan Fair Value. Metode ini memberikan kontrovesi, beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa investor lebih mempercayai Laporan Keuangan yang disusun dengan metode pengukuran Historical Cost dibandingkan dengan Fair Value. Current Market Value atau nilai sekarang telah merubah nilai kos yang akan ditandingkan dengan penjualan, penurunan ekuitas dan aliran kas masuk agar dapat mengukur pendapatan, laba, dan untung. Pada saat kos diukur dengan metode fair value akan tercipta nilai yang baru sehingga akan merubah besarnya nilai pendapatan, laba, dan untung (menurut IAI semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan yaitu pengasilan).
Ketika nilai penghasilan berubah akan muncul indikasi bahwa perubahan nilai tersebut diikuti pula dengan perubahan nilai dari komponen kos. Jika perusahaan menggunakan nilai sekarang dalam mengukur seluruh asset tetapnya, maka akan timbul nilai kos depresiasi yang baru. Nilai tersebut akan mempengaruhi jumlah kos yang akan ditandingkan dengan penjualan sehingga laba perushaan - pun akan berubah dan besaran pajak yang harus dibayar oleh entitas berubah pula terlebih jika harga pasar dari asset tetap berfluktuasi dan atau mengalami penurunan yang drastis. Hal ini tentu aka merugikan entitas karena jumlah pajak yang akan dibayarkan akan menjadi lebih besar.
SAK ETAP memiliki metode pengukuran yang sama dengan SAK Umum sehingga entitas ridak perlu melakukan revaluasi untuk semua nilai asset yang tercatat. Namun pengungkapan atas pajak tangguhan dari UKM tidak dicantumkan secara rinci dalam SAK ETAP dan hal ini berbanding terbalik dengan IFRS for SMEs. PAjak tangguhan dalam IFRS tetap diungkapkan dengan tujuan pengguna laporan dapat memperkirakan bessarnya pajak yang akan dibayar pada periode mendatang dan diatur dalam IFRS for SMEs No.29 paragaraf 31.

3.Tingkat kepraktisan penggunaan IFRS for SMEs dan SAK ETAP
Penerapan akuntansi dan pemilihan kebijakannya didasarkan pada tingkat kepraktisan penggunaannya serta keselarasan dengan tujuan Negara. SAK ETAP tentu akan digunakan secara menyeluruh oleh entitas dari Negara tersebut, berbeda dengan IFRS untuk UKM yang menyediakan penerapan secara menyeluruh atau tidak secara menyeluruh.
Pada tahun 2009, muncul wacana bahwa IASB memiliki rencana untuk memperbaharui IFRS untuk UKM dengan frekuensi tiga tahun sekali. IASB dan rencananya ini menimbulkan banyak pertanyaan, terlebih sebelumnya muncul banyak kontroversi dari metode pengukuran yang terrcantum dalam IFRS.
Bagi UKM Indonesia yang baru akan menerpakan SAK ETAP pada 01 Januari 2011, penerapan IFRS dirasa telalu cepat dan akan menyedot baanyak biaya, meskipun penerapan SAK ETAP akan membantu entitas dalam penyediaan modal dan perluasan usaha. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan pilihan bagi UKM untuk menggunakan IFRS sebagai pengganti SAK ETAP. Harmonisasi antara keduanya telah dilakukan dan bahkan SAK ETAP melakukan adopsi IFRS untuk standar atas klasifikasi asset sewa dan biayanya.
Jika IASB dengan rencananya memperbarui IFRS setiap tiga tahun sekali maka, perlu dikaji ulang pilihan menggunakan IFRS sebagai standar untuk UKM. Perubahan dalam IFRS adalah perubahan yang akan menimbulkan dampak biaya yang material dan sebanding dengan manfaatnya atau tidak serta tingkat kepraktisan penerapan standar yang baru dan dipilih yang tidak menimbulkan kompleksitas dan lebih sederhana.


BAB IV
KESIMPULAN

A.Penerapan SAK ETAP
Indonesia, Negara dengan struktur pelaku ekonomi yang didominasi oleh pebisnis skala UKM dan perdaganagan di sector riil memiliki persoalan yang harus segera diselesaikan yaitu dimana sebagian besar UKM membutuhkan pendanaan dengan jumlah yang besar dan terkendala dengan persyaratan perbankan yang mengharuskan adanya laporan keuangan sesuai dengan PSAK. Hal ini membuat bervariasinya laporan keuangan UKM dan bahkanUKM tidak menyajikan laporan keuangan dalam mengajukan pinjaman kepada bank. Standar tentang pelaporan keuangan UKM yang belum tersedia merupakan sebuah kendala yang harus segera diselesaikan. Hal ini memacu IAI membuat standar untuk entitas tanpa akuntan public dan Bank Indonesia segera mengeluarkan Surat Edaran untuk memberlakukan SAK ETAP yang merupakan sebuah bentuk penyederhanaan dari SAK Umum.
Penerapan SAK ETAP ini tentu akan menyita sumber daya yang dimiliki oleh entitas. Namun jika prinsip biaya yang ditandingkan dengan manfaat dimasa depan atas pengguaan SAK ETAP ini maka, entitas akan memperoleh manfaat yang lebih besar karena akan lebih mudah mendapatkan pendanan guna memperluas usahanya, disamping itu biaya yag dikeluarkan akan lebih kecil jika dibandingkan dengan penerapan SAK Umum oleh entitas.

B.IFRS for SMEs sebagai Pengganti SAK ETAP
IFRS untuk UKM akan membantu UKM mendapatkan pendanaan dari pihak bank, investor local bahkan inbestor asing. Standar yang berlaku internasional ini juga akan membantu UKM untuk memperluas lingkup usahanya hingga kancah internasional.
IFRS memiliki kendala dan kontroversi ketika akan ditetapkan dibeberapa Negara juga Indonesia, kendala tersebut diantaranya;
1.Penggunaan IFRS secara menyeluruh dan tidak secara menyeluruh akan membuat laporan keuangan menjadi tidak standar;
2.Penggunaan metode pengukuran nilai sekarang masih mengundang kontroversi di berbagai negara yang telah lebih dulu menerapkan IFRS;
3.Pengukuran nilai sekarang membuat jumlah pajak yang harus dibayarkan entitas akan berubah; dan
4.Mengingat IASB mempunyai rencana untuk memperbarui IFRS untuk UKM setiap tiga tahun maka, perlu pengkajian ulang atas penerapannya karena jika ada perubahan yang medasar atas IFRS apakah akan membawa dampak biaya yang material dan menurunkan nilai manfaat yang dipengaruhi juga oleh tingkat kepraktisan penerapan standar.

Indonesia yang baru saja memberlakukan SAK ETAP pada 01 Januari 2010 sebelumnya telah melakukan harmonisasi dengan IFRS for SMEs dalam beberapa hal sehingga harmonisasi selanjutnya perlu dipercepat, diperkuat, dan lebih diselaraskan dengan tujuan Negara dan tujuan pelaporan keuangan.sehingga tidak menimbulkan komlpekstisitas.
Pada akhirnya, UKM akan memiliki kesempatana yang cukup luas untuk mengembangkan usahanya, memiliki hubungan kerjasama dengan pihak asing dan memperluas usaha hingga luar negeri.









DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. Surat Edaran Bank Indonesia NO.11/37/DKBU/2009 TANGGAL 31 DESEMBER 2009 TENTANG PENETAPANPENGGUNAAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN BAGI BANK PERKREDITANRAKYAT.
HIMATANSI. SAK Umum vs SAK ETAP. 2010, Mei. www.himatansi.ac.id
IAI. SAK Entitas Tanpa Akuntan Publik. 2010. Jakarta
IASB. IFRS for SMEs. 2009. www.iasb.org. United Kingdom.
Ken, Lewis. SAK ETAP, sebuah versi sederhana dari SAK Umum. 2010, Februari. www.rss.com
Koster, Oliver. IFRS for SMEs – A Standard for Switzerland. Accounting Advisory News, Switzerland. 2009, September. www.kpmg.ch

Friday, June 11, 2010

IFRSs for SMEs

Tony Sulistyo Pambudi C1C005238
M. Rizky Fabianto C1C005244
Guntur Perdana C1C005199

PENDAHULUAN

IFRS untuk UKM adalah versi sederhana dari IFRS. Pedoman ini adalah hasil analisis biaya manfaat secara keseluruhan pemilik dalam mempertimbangkan kebutuhan entitas non-publik bertanggung jawab dan pengguna laporan keuangan mereka, dengan tujuan memberikan alternatif praktis untuk IFRS. Dengan pandangan ini, IASB memberikan pengakuan dan pengukuran persyaratan tertentu oleh umumnya hanya mengizinkan satu perlakuan akuntansi. Perlakuan akuntansi dalam standar umumnya lebih sederhana dari itu diizinkan atau diharuskan oleh IFRS. Selain itu, persyaratan pengungkapan yang dikurangi dari IFRS, dan topik yang tidak relevan dengan UKM telah dihilangkan dari standar. IASB telah menyederhanakan kegunaan standar dengan membatasi revisi atas IFRS untuk UKM untuk sekali setiap tiga tahun. Penyederhanaan ini menyediakan versi IFRS yang tidak terlalu mahal untuk diterapkan daripada IFRS dan mungkin lebih relevan bagi pengguna laporan keuangan UKM. IFRS untuk UKM dirancang untuk memberikan perbandingan komprehensif dan rinci.

PEMBAHASAN

IFRS for SMEs merupakan modifikasi dan penyederhanaan IFRS yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan swasta, pengguna pelaporan keuangan dan meringankan beban pelaporan keuangan pada perusahaan swasta melalui pendekatan biaya-manfaat. IFRS for SMEs adalah akuntansi mandiri dan standar pelaporan keuangan yang berlaku untuk laporan keuangan umum, dan pelaporan keuangan lainnya, melalui entitas yang di dikenal sebagai entitas kecil dan menengah (UKM).
IFRS for SMEs adalah standar yang digunakan digunakan oleh UKM, yang merupakan entitas kecil yang mempublikasikan tujuan umum laporan keuangan untuk pengguna eksternal dan tidak memiliki akuntabilitas publik. Setiap entitas memiliki akuntabilitas publik di bawah IASB. IFRS for SMEs dipandang sebagai kerangka kerja akuntansi untuk entitas yang bukan dari ukuran atau memiliki sumber daya besar. Di Amerika Serikat, istilah "UKM" akan mencakup banyak perusahaan swasta. Jenis-jenis dan kebutuhan pengguna laporan keuangan UKM sering berbeda dengan jenis dan kebutuhan pengguna laporan keuangan perusahaan publik dan entitas lain yang mungkin akan menggunakan full IFRS. IFRS dirancang untuk memenuhi kebutuhan investor mengendalikan modal pada perusahaan-perusahaan di pasar modal publik.
Pengguna laporan keuangan UKM (atau perusahaan swasta di AS) umumnya tidak memiliki kebutuhan yang sama. Demikian sebaliknya, pengguna laporan keuangan UKM lebih berfokus pada arus kas jangka pendek, likuiditas, neraca kekuatan, cakupan bunga dan solvabilitas. Dengan demikian, ada kebutuhan yang signifikan untuk standar akuntansi dan pelaporan keuangan untuk UKM yang akan memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan mereka ketika menyeimbangkan biaya dan manfaat. IFRS for SMEs dirancang untuk memenuhi kebutuhan itu. Dengan penerbitan IFRS for SMEs, banyak UKM di seluruh dunia, termasuk perusahaan swasta di Amerika Serikat, akan memiliki pilihan lebih untuk menggunakan kerangka akuntansi berbasis IFRS untuk menyiapkan laporan keuangan mereka yang telah disederhanakan.

Beberapa perbedaan kunci berdasarkan IFRS for SMEs:
  • Pengungkapan disederhanakan di berbagai bidang termasuk dana pensiun dan instrumen kuangan sewa.
  • Tidak menggunakan LIFO
  • Goodwill dan aktiva tak berwujud diamortisasi selama jangka waktu tidak lebih dari sepuluh tahun.
  • Penyusutan berdasarkan pendekatan komponen.
  • Sebuah pendekatan yang disederhanakan perbedaan sementara untuk akuntansi pajak penghasilan.
  • Jika kriteria tertentu terpenuhi diperbolehkan untuk pembalikan beban penurunan nilai.
  • Akuntansi untuk aktiva keuangan dan kewajiban yang menggunakan biaya yang lebih besar.
Kelebihan IFRS for SMEs:
  • Ringkas dan lengkap seperangkat dengan prinsip akuntansi yang disederhanakan diatur menurut topiknya.
  • IFRS for SMEs lebih baik dalam memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan. Sebagian besar perusahaan yang memenuhi syarat untuk IFRS for SMEs fokus pada arus kas jangka pendek, likuiditas dan solvabilitas.
Kelemahan IFRS for SMEs

  • Pada saat ini di Amerika Serikat belum cukup dikenal. Sementara IFRS for SMEs ini mirip dengan IFRS. Di antara investor, pelaku bisnis, kreditur, pendidik, dan pengguna laporan keuangan, beberapa telah menghabiskan waktu yang diperlukan untuk memahami perbedaan dari US GAAP dan dampak yang sesuai tidak siap untuk mengadopsi, atau membuat keputusan bisnis yang penting dengan standar-standar yang ada.
  • Kemungkinan kurangnya komparatif. Karena IFRS for SMEs seperti IFRS, memberikan fleksibilitas yang lebih, aturan yang kurang spesifik dan lebih banyak kesempatan untuk menerapkan penilaian profesional, ada kemungkinan bahwa jenis transaksi yang sama dibuat oleh beberapa perusahaan yang berbeda dapat dilaporkan dalam laporan keuangan. Jadi perbandingannya kurang baik.

KESIMPULAN

IFRS for SMEs adalah versi sederhana dari full IFRS. IASB juga telah menerbitkan petunjuk pelaksanaan dan materi pelatihan untuk mengembangkan standar. Ruang lingkup standar mencakup UKM yang mempublikasikan tujuan umum laporan keuangan untuk pengguna eksternal, dan tidak memiliki akuntabilitas publik. IFRS for SMEs ini tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi-organisasi nirlaba atau badan pemerintah. AICPA telah mengakui IASB sebagai badan standard akuntansi. Anggota AICPA bisa melaporkan laporan keuangan dan disajikan dengan baik atau penggunaan IFRS for SMEs diizinkan menurut undang-undang dan peraturan masing-masing negara.

Sunday, June 6, 2010

Solvency II versus IFRS: Cost of Capital Implications for Insurance Firms Paul J M Klumpes and Kathryn Morgan 2008

Vera Nurpujia C1C007079
Sera Ekowati C1C007090
Hermawan S C1C005261

A. PENDAHULUAN
Perusahaan asuransi adalah suatu perusahaan yang mempunyai fungsi utama sebagai mekanisme untuk mengalihkan resiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan resiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan resiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya (Morton:1999).
Polis asuransi adalah suatu kontrak yakni suatu perjanjian yang sah antara penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, dimana pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul dimasa yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Agar suatu kerugian potensial (yang mungkin terjadi) dapat diasuransikan (insurable) maka harus memiliki karakteristik: 1) terjadinya kerugian mengandung ketidakpastian, 2) kerugian harus dibatasi, 3) kerugian harus signifikan, 4) rasio kerugian dapat terprediksi dan 5) kerugian tidak bersifat katastropis (bencana) bagi penanggung.
Kerangka konseptual yang digunakan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan lain serta perusahaan non asuransi berbeda. Dalam IASB masih ditemukan adanya ketidakkonsistenan mengenai pengukuran aset dan kewajiban serta pengakuan pendapatan dan biaya. IFRS mengharapkan perusahaan asuransi menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan standar pelaporan keuangan internasional. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka IFRS segera melakukan tindakan dengan mengeluarkan suatu standar baru yaitu IFRS 4. Namun negara-negara Uni Eropa mempunyai seperangkat peraturan yang telah diperbaharui yang dikenal dengan nama Solvency II. Alasan dikeluarkanya peraturan atau undang-undang tersebut adalah untuk memfasilitasi Pasar Tunggal dibidang jasa asuransi di Eropa, sementara pada saat yang sama menjamin tingkat perlindungan konsumen yang memadai. Solvency II akan didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi untuk pengukuran aktiva dan kewajiban. Hal ini juga akan menjadi suatu sistem berbasis resiko yang mana resiko akan diukur pada prinsip-prinsip yang konsisten dan persyaratan modal akan secara langsung tergantung pada ini. Dan hal tersebut menyiratkan bahwa Solvency II mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan Solvency I.
Pada dasarnya masing-masing jenis perusahaan mempunyai cara sendiri untuk mengembangkan usahanya dengan menambah investasi perusahaan. Kita dapat mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan secara riil yang harus ditanggung oleh perusahaan untuk mendapatkan modal dengan perhitungan dari biaya modal. Biaya modal merupakan biaya yang harus dikeluarkan atau dibayar oleh perusahaan untuk mendapatkan modal yang digunakan dalam investasi perusahaan

B. PEMBAHASAN

1. Rangkuman Jurnal
Jurnal ini membahas tentang perlakuan pengakuan transaksi yang berbeda dengan perusahaan lain dan perusahaan-perusahaan serupa tapi bukan perusahaan asuransi. Hal tersebut menimbulkan suatu wacana bagaimana dapat memunculkan suatu keuntungan yang berkesinambungan dari kontrak asuransi.
Adanya ketidakkonsistenan pengakuan transaksi pada perusahaan asuransi mengakibatkan IFRS mendesak IASB untuk segera mengeluarkan suatu standar yang konsisten dan bisa diterapkan pada kontrak asuransi. Kemudian IFRS menghasilkan suatu standar IFRS 4. Dimana IFRS mengindikasikan sebuah kesimpulan bahwa aset dan kewajiban suatu perusahaan asuransi harus diukur secara konsisten pada nilai wajar atau nilai pasar. IASB untuk perusahaan asuransi memperlakukan aset dan kewajiban sebagai instrumen keuangan.
Pada negara Uni Eropa perlakuan yang mengatur transaksi perusahaan asuransi terdapat pada Solvency II dimana perlakuan untuk aset dan kewajiban menggunakan nilai wajar tetapi keuntungan pada perusahaan asuransi akan terpengaruh oleh kerugian dimasa depan yang diproyeksikan oleh pasar baik dengan cara yang konsisten ataupun penggunaan tarif diskon standar untuk kewajiban.
Paper ini mengkaji estimasi biaya modal untuk asuransi menggunakan metodologi yang relatif baru, pendekatan full-information beta (FIB). Metode ini
dirancang untuk memperoleh biaya modal untuk divisi atau lini bisnis perusahaan, dimana divisi perusahaan publik tidak diperdagangkan. Memperkirakan biaya modal oleh lini ini penting karena biaya modal diketahui bervariasi secara signifikan berbeda untuk jenis kegiatan ekonomi. Menggunakan biaya modal yang salah dapat menyebabkan kerusakan nilai perusahaan melalui pengambilan keputusan proyek yang salah dan keputusan harga.
Prosedur FIB divisi biaya modal dengan mendapatkan versi beta
koefisien untuk sampel perusahaan dan kemudian regresi dengan cross-sectional beta
terhadap variabel measuring komposisi bisnis setiap perusahaan di seluruh industri. Variabel komposisi bisnis yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio dari pendapatan yang berasal dari setiap industri dibagi dengan total pendapatan dari semua industri. Estimasi koefisien regresi ditafsirkan sebagai beta full-information.
Koefisien Beta diperkirakan dengan menggunakan dua model biaya modal utama untuk menerapkan pendekatan beta full-information model penetapan harga aset modal (CAPM) dan model tiga faktor Fama-French (FF3F). CAPM termasuk faktor risiko yang mewakili exposure perusahaan terhadap risiko pasar sistematis. Model FF3F menambahkan faktor risiko untuk ukuran perusahaan (total kapitalisasi pasar) dan kesulitan keuangan perusahaan, proksi dengan rasio nilai buku (BE) dari ekuitas ke nilai pasar (ME) dari ekuitas. Berdasarkan penelitian empiris sebelumnya, ukuran perusahaan diharapkan akan berbanding terbalik dengan biaya modal, dan rasio BE / ME diharapkan untuk secara positif berkaitan dengan biaya modal. Dalam memperkirakan koefisien beta untuk CAPM dan metode FF3F, kami menggunakan prosedur jumlah-beta untuk menyesuaikan infrequent-trading- hal ini penting terutama dalam industri asuransi, di mana banyak saham yang dicirikan oleh infrequent trading.
Untuk estimasi beta full-information bagi industri asuransi, kami menggunakan sampel terdiri dari semua perusahaan Compustat estimasi untuk periode 1997-2000. Sampel mencakup 172 perusahaan asuransi yang listing. Variabel partisipasi industri termasuk untuk semua industri dua digit yang didefinisikan oleh NAICS. Koefisien rasio partisipasi industri-industri tertentu untuk kemudian ditafsirkan sebagai full information koefisien beta untuk industri itu. Untuk CAPM, hanya dilakukan satu FIB regresi, dengan faktor risiko pasar yang sistematis (beta) sebagai dependen variabel. Untuk metode FF3F, tiga FIB regresi diperkirakan, satu untuk masing-masing tiga faktor dalam model Fama-French. Beta regresi untuk Fama-French ukuran dan BE / ME faktor risiko juga termasuk log dari kapitalisasi pasar setiap perusahaan dan log dari rasio BE, ME, sebagai regressors untuk mengendalikan yang negatif (Positif) hubungan antara ukuran perusahaan (BE/M

2. Evaluasi
Paper ini memberikan kontribusi literatur pertama yang komprehensif untuk analisis biaya modal pada lini bisnis dan menggunakan jauh lebih banyak sampel perusahaan asuransi dan paper yang kami review adalah yang pertama menggunakan pendekatan model 3 faktor Fama French (FF3F) dan Tehnik Full-information Beta pada perusahaan asuransi.
Peneliti dalam paper ini menghendaki adanya perbaikan kekurangan literatur yang sudah ada dengan mengembangkan model biaya modal yang berbias dari jalur karakteristik usaha dari perusahaan keuangan dan industri nonfinancial untuk membantu pemilik perusahaan dalam membuat keputusan dalam memaksimalkan nilai perusahaan. Selain itu, paper yang kami review memberikan kontribusi bagi investor yang menyediakan informasi berharga untuk membuat keputusan keuangan, menaksir biaya modal dan juga memberikan kontribusi literatur dalam menjelaskan harga cross-sectional pada industri asuransi.
Paper yang kami review ini juga membicarakan tentang suatu kerangka konseptual umum yang memperkenalkan tiga unsur penilaian untuk kontrak asuransi dan variasinya. Pertama, memperkenalkan bahwa nilai wajar dari kewajiban asuransi dapat sulit untuk ditentukan. Kedua, penulis menyediakan suatu kritik dari pengajuan dasar pengukuran nilai wajar untuk kontrak asuransi. Ketiga, kerangka konseptual dengan tegas mengidentifikasi resiko regulasi ketidakmampuan membayar dihubungkan dengan berbagai pilihan yang kompleks dalam kontrak asuransi.
Kemudian paper ini juga memanfaatkan metodologi pendekatan full-information beta (FIB). Variabel dependen dalam paper ini adalah beta dan variabel independennya adalah partisipasi perusahaan dari berbagai lini bisnis. Koefisien partisipasi variebel lini bisnis kemudian diinterpretasikan sebagai full-information beta koefisien untuk lini bisnis.
Pendekatan FIB untuk estimasi biaya modal menggunakan sampel seluruh perusahaan (asuransi dan bukan asuransi yang terdaftar pada data compustat periode 2001-2004). Beta yang digunakan sebagai variabel dependen pada regresi FIB berasal dari CAPM dan tiga model faktor yang dikembangkan oleh Fama dan French. Untuk memperkirakan CAPM, FF3F dan Full-information beta biaya modal data yang digunakan adalah Return saham dan pendapatan lini bisnis dari sampel perusahaan.
Estimasi biaya modal CAPM dengan dua pendekatan. Tahap pertama, kemunduran faktor risiko pasar untuk mendapatkan koefisien beta pada masing-masing perusahaan sampel. Kedua, memasukkan koefisien beta dan risiko pasar diperkirakan pada premium untuk mendapatkan perkiraan biaya modal tiap-tiap perusahaan. Model FF3F menambahkan risiko premium untuk menangkap efek ukuran perusahaan dan ekuitas rasio book to market dan memberikan penjelasan variasi cross-sectional dengan tingkat return saham. Metodologi FIB menghasilkan perkiraan biaya modal yang mencerminkan garis komposisi bisnis perusahaan. Hal tersebut didasari karena perusahaan dapat dibayangkan sebagai suatu portofolio aset.
Dari perhitungan CAPM hasil kuartil tidak menunjukkan bahwa perusahaan asuransi yang besar secara konsisten memiliki beta lebih kecil daripada perusahaan asuransi yang kecil, bertentangan dengan penemuan sebelumnya. Berdasarkan metode FF3F rata-rata, faktor risiko pasar sistematis memiliki koefisien beta lebih tinggi daripada faktor BE/ME dan faktor ukuran perusahaan memiliki koefisien beta terendah. Dibandingkan dengan hasil penelitian Fama French, beta pasar yang diteliti dan estimasi beta ukuran untuk perusahaan asuransi hampir sama dengan seluruh rata-rata industri untuk kedua parameter Fama dan French, yang menunjukkan bahwa rata-rata saham perusahaan asuransi sensitif terhadap resiko pasar sistematik dan ukuran perusahaan. Return saham perusahaan keuangan yang jauh lebih peka terhadap kesulitan keuangan dari pada saham umumnya dan kesulitan keuangan berpengaruh signifikan terhadap biaya modal untuk perusahaan asuransi.
FF3F perkirakan biaya modal perusahaan asuransi harus lebih tinggi daripada rata-rata karena perusahaan asuransi cenderung lebih kecil dari perusahaan rata-rata di industri lain dan karena mereka cenderung memiliki kepekaan lebih ke faktor BE / ME. Dan untuk memberikan perspektif lebih lanjut mengenai FF3F estimasi biaya modal kita juga menghitung return tahunan pada indeks tertimbang sama dengan seluruh saham Inggris dalam klasifikasi SIC 63. saham perusahaan keuangan cenderung memiliki biaya modal lebih tinggi dari pada saham secara umum, setidaknya selama periode terakhir.
Dengan estimasi Full-Information biaya modal secara terpisah tiap tahun melakukan regresi data panel termasuk semua data selama empat periode pada sampel perusahaan yang menggunakan regresi tunggal. Secara merata rata-rata tertimbang memberikan indikasi beta untuk rata-rata perusahaan keuangan, sedangkan nilai pasar rata-rata tertimbang memberikan indikasi yang sistematis sensitivitas resiko untuk industri secara keseluruhan. Berdasarkan hasil regresi panel, koefisien beta CAPM rata-rata tertimbang secara signifikan lebih kecil dari beta dari asuransi kesehatan dan semua kategori industri lain non-keuangan tetapi tidak berbeda signifikan dari kehidupan asuransi atau keuangan. Asuransi memiliki resiko sistematis rata-rata yang lebih rendah dengan menggunakan CAPM dibandingkan dengan industri lainnya.
Estimasi Full-information beta, FF3f dan biaya modal untuk perusahaan asuransi dengan regresi panel menunjukkan bahwa perusahaan asuransi memiliki beta risiko pasar sistematis yang lebih tinggi, beta ukuran perusahaan lebih rendah dan lebih tinggi beta BE / ME dari semua industri lainnya, berdasarkan kedua hasil rata-rata tertimbang dan nilai-tertimbang. Ini semua juga memberikan bukti bahwa return saham perusahaan keuangan jauh lebih sensitif terhadap kesulitan keuangan dari saham pada umumnya dan kesulitan keuangan secara signifikan meningkatkan biaya modal untuk perusahaan keuangan. Seperti yang diharapkan, log dari kapitalisasi pasar memiliki koefisien negatif dalam persamaan untuk ukuran beta, menunjukkan suatu invers hubungan antara ukuran perusahaan dan biaya modal. Demikian pula, koefisien log dari rasio BE / ME memiliki tanda positif yang diharapkan dalam persamaan untuk beta BE / ME, mengindikasikan adanya hubungan positif antara biaya modal dan rasio book-to-market ekuitas.
Perusahaan asuransi memiliki biaya modal yang lebih signifikan dibandingkan dengan kapitalisasi pasar yang sejenis rasio BE/ME spesialisasi di bidang asuransi, keuangan termasuk asuransi, dan semua non-keuangan industri lain tetapi tidak berbeda nyata dari kehidupan asuransi. Berdasarkan hasil nilai-tertimbang, perusahaan asuransi rata-rata memiliki signifikan lebih rendah daripada biaya modal perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang sama dan rasio BE / ME yang mengkhususkan diri dalam asuransi jiwa dan keuangan termasuk asuransi tapi jauh lebih tinggi dibanding untuk semua industri non-keuangan lainnya.
Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya perlu menggunakan comprehensively kinerja aspek dari model laporan penilaian wajar, dan memberikan daya tarik serta perhatian terhadap daya saing internasional dan efisiensi dari perusahaan asuransi jiwa. Dan penulis menghimbau para peneliti dan praktisi selanjutnya untuk membahas pemecahan ini agar dapat dengan sukses mengembangkan dan menyelaraskan menjadi satu standar akuntansi internasional. Dari ilustrasi, daftar pustaka dan indeks yang ada pada paper kami dapat memperoleh pamahan lebih mengenai paper ini.
Ada beberapa kelemahan pada paper yang kami review yaitu penulis tidak memberikan hipotesis sehingga kami tidak dapat menyimpulkan apakah analisis yang dilakukan oleh penulis sudah sesuai dengan dugaan yang diharapkan oleh penulis atau belum. Selain itu, dari judul paper yang kami review terdapat ketidaksesuaian antara judul tersebut dengan isi paper itu sendiri sehingga kami tidak dapat membandingkan perhitungan biaya modal, solvency II dengan IFRS secara benar.
C. KESIMPULAN
Dari paper yang kami review penulis tidak memberikan hipotesis sehingga kami tidak tahu apakah tujuan dari penulisan paper telah tercapai. Akan tetapi dari model yang diajukan oleh penulis (FF3F dan FIB) membuktikan bahwa model tersebut lebih baik dibandingkan dengan model biaya modal yang digunakan pada penelitian sebelumnya(CAPM, CAPM-APT).
Penelitian ini dilakukan secara obyektif. Hasil penilitian yang dilakukan oleh penulis pada paper tersebut berasal dari analisis yang dilakukan melalui persamaan rumus dari model yang diajukan. Data yang diperoleh berasal dari Compustat dan NAIC.
Dengan adanya penelitian ini pemilik perusahaan, investor serta akademisi dapat memperoleh pengetahuan lebih mengenai perhitungan biaya modal yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Terutama perhitungan biaya modal untuk parusahaan asuransi. Kami juga dapat mengetahui bahwa ada peraturan tertentu untuk perusahaan asuransi di Uni Eropa yang disebut dengan Solvensi II dan perlakuan terhadap perusahaan asuransi oleh IFRS pada IFRS4.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan ada keterbandingan yang lebih konkret antara pembahasan biaya modal pada perusahaan asuransi dengan IFRS dan Solvensy II. Kemudian diharapkan juga para praktisi melakukan penelitian menganai biaya modal pada perusahaan non asuransi.

REFERENSI
http://melsforever.blogspot.com
http://steffy_adhee.blogspot.com
Klumpes, Paul J.M dan Kathryn Morgan. Solvency II versus IFRS: Cost of Capital Implications for Insurance Firms.2008.
www.google.com
www.openpdf.com
www.wikipedia.com